Journalnusantara.com - Pondok pesantren waria Al Fatah Yogyakarta adalah pondok khusus bagi kalangan waria.
Ponpes Al Fatah Yogyakarta hadir untuk memberi kesempatan bagi para transpuan beribadah dan memperdalam agama secara nyaman.
Shinta Ratri, merupakan salah satu pengasuh Al Fatah Yogyakarta. Sosoknya tak lepas dari pondok pesantren khusus waria yang didirikannya pada 2008 bersama dua waria lainya.
Dikutip dari berbagai sumber, Shinta Ratri menilai, para waria terkadang merasa tidak nyaman dan seringkali mendapat penolakan dari warga. Meski tak selalu berupa kata-kata yang terucap pedas, namun juga tindakan.
Baca Juga: Resmi, Holding BUMN Farmasi Luncurkan Logo Baru Biofarma Group di Hari Jadi ke-3
"Ketika solat di masjid terkadang ada banyak penolakan. Tak selalu berupa kata-kata namun juga tindakan. Saat salat ternyata di sampingnya seorang waria, mereka kemudian pindah. Hal inilah yang membuat waria cenderung lebih nyaman salat di rumah," ujar Shinta waktu itu, Agustus 2021.
Berangkat dari kondisi itulah Shinta Ratri membangun pondok pesantren yang menurutnya adalah madrasah pertama untuk kaum transgender di mana pun di dunia.
Berbeda dengan pesantren pada umumnya dimana santri tinggal dan menetap, di pesantren Al Fatah, waria yang menjadi santri tinggal di rumah masing-masing.
Mereka mengaji dua kali perpekan, Ahad dan Rabu malam. Lantaran jadwal mengaji itu, pesantren waria ini disebut juga dengan pesantren Senin dan Kamis.
Pondok pesantren Al Fatah memiliki beragam kelas. Berbagai pelajaran agama diberikan selama pengajian di pondok pesantren itu. Dari doa dan cara salat, membaca Alquran, mengaji fikih, hingga pemahaman beragama.
Baca Juga: Industri Pariwisata Indonesia Siap Bangkit Kembali
Pada awal berdiri, tak banyak waria yang bergabung di pondok pesantren ini. Kini, santrinya berasal dari dari beberapa wilayah di Indonesia dengan beragam latar belakang profesi. Ada yang menjadi pengamen di siang hari, bekerja di LSM, pegawai salon, membuka usaha sendiri hingga lainnya.
Ketika salat, para santri waria bebas memilih memakai sarung atau mukena. Tak ada paksaan, semua disesuaikan dengan keyakinan dan ketulusan hari mereka dalam menghadap Allah SWT. Terpenting tentu tetap berlandaskan niat. Beribadah guna mendapat pahala dan ketenangan batin masing-masing.
Ponpes Al Fatah sempat vakum karena pendirinya Maryani meninggal dunia. Shinta Ratri kemudian meneruskan mengelola dan mengasuh pesantren itu. Dia juga memindahkan lokasi pesantren yang semula di Notoyudan, menjadi di rumahnya.
Artikel Terkait
Gila...Teddy Minahasa Minta Jatah 5 Kg Sabu untuk Bonus Bawahannya
Kemenag RI Ajak Khatib Jumat Sampaikan Pesan Persaudaraan
Saksikan! Jadwal Lengkap Proliga 2023
Hijab Menorobos Jantung Dunia
Industri Pariwisata Indonesia Siap Bangkit Kembali
Resmi, Holding BUMN Farmasi Luncurkan Logo Baru Biofarma Group di Hari Jadi ke-3
Perusahaan Astra dan Toyota Luncurkan One Stop Services
Fahri Hamzah Meminta Ubah Mindset untuk Kenaikan Biaya Haji
Perusahaan Rusia Bakal Beri Hadiah Bagi Tentara yang Hancurkan Tank Ukraina
GP Ansor Cikalongkulon Cianjur Gelar Diklatsar Banser di Pesantren Tebuireng 6